9/27/2009

Mazhab kami adalah mazhab cinta

Doa Imam Ali Zainal ‘Abidin, yang menggambarkan situasi
kejiwaan orang yang sudah sampai ke rumah Tuhan, sudah mengetuk pintu-Nya, dan
sudah dibukakan. Saya percaya bahwa Anda sekalian sudah mengalami pencerahan
yang cukup tinggi sehingga tidk menafsirkan ucapan saya dengan pemahaman orang
awam. Inilah ungkapan orang yang sudah dekat dengan Allah Swt. “Perjumpaan
dengan-Mu kesejukan hatiku. Pertemuan dengan-Mu kecintaan diriku. Kepada-Mu
kedambaanku. Pada cinta-Mu tumpuanku. Pada kasih-Mu gelora rinduku. Ridha-Mu
tujuanku. Melihat-Mu keperluanku. Mendampingi-Mu keinginanku. Mendekati-Mu
puncak permohonanku. Dalam menyeru-Mu damai dan tenteramku.”
Beliau digelari As-Sajjad karena banyaknya melakukan sujud. Dikisahkan bahwa ada banyak tempat di kota Madinah yang tanahnya menjadi keras karena seringnya Imam Ali
Zainal ‘Abidin bersujud di situ. Padahal, ketika bersujud, tanah itu beliau
siram dan basahi dengan linangan air mata. Dulu banyak orang yang datang ke
temapt itu untuk meminta berkah. Setiap malam bintang-gemintang menyaksikan
beliau merintih di rumah Tuhan atau di tempat shalatnya. Padahal, beliau
termasuk keluarga Rasulullah saw. (Ahlul Bait) yang disucikan sesuci-sucinya.
…Innama yuridullah li-yudzhiba ‘ankum al-rijsa ahl al-bait wa yuthahhirakum
tathhiran. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa-dosa dari kamu, wahai
Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. (QS Al-Ahzab [33]: 33)
Berikut ini sebuah doa yang dibaca Imam Ali Zainal ‘Abidin ketika
beliau bersujud disudut Kabah di bawah mizab, yaitu pancuran air.
Imam Ali Zainal ‘Abidin berdoa sambil bersujud. “Inilah
hamba sahaya-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah si malang-Mu rebah di
halaman kebesaran-Mu. Inilah si fakir-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah
pengemis-Mu di halaman kebesaran-Mu. Tuhanku, demi kebesaran-Mu, keagungan-Mu,
dan kemuliaan-Mu, sekiranya sejak Engkau menciptakan aku, sejak masa permulaanku
aku menyembah-Mu sekekal badai rububiyah-Mu, dengan setiap lembar rambutku,
setiap kejam mataku sepanjang masa, dengan pujian dna syukur segenap makhluk-Mu,
maka aku takkan mampu mensyukuri nikmat-nikmat-Mu yang paling tersembunyi
padaku. Sekiranya aku menggali tambang besi dunia dengan gigiku, dan menanami
buminya dengan lmbar-lembar alis mataku, dan menangis takut kepada-Mu dengan air
mata dan darah sebanyak samudera langit dan bumi, maka semua itu kecil
dibandingkan dengan banyaknya kewajibanku atas-Mu. Sekiranya, setelah itu,
Engkau menyiksaku dengan azab seluruh makhluk, Engkau besarkan tubuh dan ragaku,
Engkau penuhi Jahanam pada seluruh sudutnya dengan tubuhku sehingga di sana
tidak ada lagi yang disiksa selainku, tidak ada lagi kayu bakar selain diriku,
maka semua itu kecil dibandingkan dengan keadilan-Mu dan besarnya hukuman-Mu
yang harus kuterima mengingat dosa-dosa yang kulakukan.”
Kepada Imam Ali Zainal ‘Abidin ini
bersambung hampir semua silsilah tarekat silsilah itu naik kepada
ayahnya, dan kepada datok nya, yaitu Rasulullah saw. Dari beliau, para penempuh
jalan kesucian belajar mengetuk pintu Tuhan. Dari beliau, mereka belajar doa
yang mengungkapkan kerinduan dan kecintaan kepada Tuhan. Dari beliau pula,
mereka belajar mensucikan batin agar layak berdampingan dengan Dzat Yang
Mahasuci.
Imam Ja’far Ash-Shaddiq—cucu Imam Zainal ‘Abidin yang melanjutkan
tradisnya—menyimpulkan inti tarekat beliau, tarekat keluarga Nabi saw., “Ad-dinu
huwa al-hubb.” Agama itu cinta. “Ad-dînu huwal ‘aqlu. La dina liman la aqla lahu.” Agama itu akal. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.
Ketika Islam dimaknai dengan berserah diri atau pasrah, maka para pengikut
tarekat menambahkan cinta sebagai syarat mutlak penyerahan diri dan kepasrahan.
Para filosof menyerahkan diri kepada Tuhan setelah akal mereka menunjukkan
mereka kepada-Nya. Para fakih atau ahli hukum Islam pasrah kepada-Nya setelah
mengetahui hukum-hukum-Nya, seperti taatnya warga negara kepada hukum negerinya.
Para sufi merbahkan diri di hadapan-Nya, mau melakuka apa pun yang diperintahkan
oleh-Nya, asalkan mereka tidak diusir dari sisi-Nya—sebagaimana seorang pecinta
yang pasrah di depan kekasihnya. Karena boleh jadi, seseorang pasrah kepada-Nya
karena takut siksa, hukuman, atau kekuasaan-Nya. Mungkin juga ia menyerahkan
diri karena mengharapkan pamrih, pahala, atau ganjaran. Para sufi menyerahkan
diri mereka sepenuhnya kepada Tuhan karena cinta. Ketika mereka berdoa, mereka
memohonkan agar semua balasan itu diberikan kepada orang lain, sebagaimana
diungkapkan dengan indah oleh L.A.Ara, seorang penyair muslim dari Aceh, dalam
puisinya yang berjudul Doa Orang Buta.
Tuhan, beri sinar kepada mereka yang awas matanya.
Tuhan, beri cahaya kepada mereka yang memandnag dunia dengan mata terbuka.
Tuhan, kepadaku kirim saja percik kasih-Mu, tidak untuk membuka mataku, tapi
untuk menyiram hatiku.
Banyak jalan menuju Dia. Salah satu di antara jalan itu adalah jalan kesucian yang ditempuh para sufi, yaitu
mereka yang ingin dikirimi percik kasih Tuhan untuk menyiram hatinya.
Jadi, secara singkat, tasawuf adalah sebentuk keberagamaan yang didasarkan pada
cinta. Kalau orang bertanya apa mazhab tasawuf, maka tasawuf itu akan menjawab,
“Madzhabuna madzhab al-hubb”. Mazhab kami adalah mazhab cinta

No comments:

Post a Comment